PENDAHULUAN
Sebagai ujung tombang pendidikan, guru memiliki peranan penting dalam pendidikan. Bisa dibayangkan, betapa fatalnya jika guru salah menyampaikan ilmunya. Berapa ribu anak yang akan salah melangkah. Karena itu, guru profesional harus dipersiapkan sejak dini.
Akhmad Maulana dalam salah satu blognya, mengatakan bahwa banyak yang harus dibenahi dari calon-colon guru dimasa mendatang. Salah satunya, mencoba melakukan pendekatan dengan siswa. Kurang pedulinya guru terhadap siswa, akan berdampak buruk untuk anak didiknya.
Misalnya, jika siswa sedang bermasalah, guru juga punya peran penting untuk membantu. Ketidakpedulian guru akan berdampak buruk pada siswa. Salah satunya, tekanan psikologis yang akan dirasakan siswa
Karena itu, kedekatan secara personal sangatlah penting. Salah satunya, untuk membangun rasa percaya diri siswa atau menghilangkan rasa minder. Sehingga, jika siswa sudah merasa percaya diri dan punya jembatan untuk membentengi diri, ia tidak akan mudah terpengaruh dengan hal-hal yang negatif.
Dan dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai hal tersebut, yaitu mengenai rasa minder atau kurang percaya diri, faktor apa saja yang menyebabkan munculnya perasaan ini?, serta bagaimana cara menghilangnya?.
Dan ternyata perasaan minder juga pernah terjadi pada diri Ibnu Umar, dimana saat itu Rasulullah menanyakan suatu hal, dan Ibnu Umarpun merasa minder untuk menjawabnya karena ia masih kecil.
A. Matan Hadits.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا ِإسْمَاعِيْلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنِ بْنِ عُمَرٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ فَحَدِّثُوْنِي مَا هِيَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ البَوَادِي قَالَ عَبْدُ اللهِ وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَاسْتَحْيَيْتُ ثُمَّ قَالُوْا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ
….Dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “ Sesungguhnya di antara pepohonan ada sebuah pohon yang tidak pernah jatuh daunnya dan pohon itu adalah merupakan perumpamaan orang Islam. Cobalah kalian semua beritahukan kepadaku, pohon apakah itu?”. Selanjutnya Ibn Umar berkata: “Orang-orang agaknya menerka bahwa pohon itu adalah suatu pohon yang tumbuh di daerah pedalaman”. Ia meneruskan ucapannya:“Tetapi aku (Ibn Umar sendiri) menerka dalam hatiku bahwa pohon yang dimaksudkan oleh beliau saw itu adalah pohon kurma, lalu sayapun merasa malu”. Kemudian orang-orang pun berkata: “Silahkanlah anda beritahu pada kami, apakah pohon itu ya Rasulullah?”. Beliau saw menjawab: “Pohon itu adalah pohon kurma”.[1]
B. Penafsiran Kata Sulit.
ورق : Daun
البوادى : Pohon yang tumbuh di daerah pedalaman, yakni di beberapa
pedesaan dari negeri Arab.[2]
النخلة : Pohon kurma.
C. Penjelasan Hadits.
Hadits tersebut berasal dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa pada suatu hari Rasulullah Shalallahualaihi Wasallam memberitahukan bahwa ternyata ada suatu pohon yang tidak pernah gugur daunnya, dan Rasulullah mengumpamakan seorang muslim sejati dengan pohon tersebut. Kemudian Rasulullah bertanya kepada para shahabat: “Adakah yang tahu, pohon apakah itu?”. Semuanya terdiam. Dan merekapun berpikir bahwa pohon itu adalah pohon yang terletak di pedalaman desa, yang tidak ada di sekitar mereka.
Namun Ibnu Umar berpikir lain, ia menebak dalam hati bahwa pohon tersebut adalah pohon kurma yang banyak terdapat di sekitar mereka. Lantas Ibnu Umar pun merasa malu (karena dalam suatu riwayat saat itu Ibnu Umar masih sangat muda yaitu umur sebelas tahun).[3] Karena tidak ada yang menjawab kemudian para shahabatpun akhirnya bertanya kepada Rasulullah shalallahualaihiwasallam, apakah gerangan pohon tersebut?. Maka Rasulullah menjawab: ”Pohon itu adalah pohon kurma”.
Dalam kitab Fathul Bari dijelaskan bahwa perumpamaan pohon kurma dengan karakter seorang muslim adalah dilihat dari sisi tidak pernah rontoknya daun pohon kurma. Jika pohon kurma itu tidak pernah rontok daunnya, maka seorang muslim yang sejati adalah seorang muslim yang tidak pernah mudah menyerah dalam berdakwah ataupun berjuang. [4]
Dan dari hadits ini pula dapat kita tangkap suatu kejadian, dimana Ibnu Umar yang terbilang masih muda merasa malu dan minder ketika akan menjawab pertanyaan dari Rasulullah tersebut. Yang pada akhirnya ia hanya menyimpan jawabannya dalam hati saja tanpa ada keberanian untuk mengungkapkannya.
Dan pada satu riwayat, Ibnu Umar menceritakan hal itu pada Ayahandanya yaitu Umar bin Khattab. Maka Umar pun berkata: “ Andai saja engkau tadi mengungkapkannya, maka itu lebih aku sukai dari pada engkau bercerita kepada diriku begini dan begini…”.[5]
Ini menunjukkan bahwa Umar bin Khattab tidak menyukai apa yang telah dilakukan putranya, yang merasa malu dan minder karena merasa masih muda dan berada dihadapan orang yang lebih dewasa. Maka hal ini menunjukkan bahwa perasaan minder dan malu dalam hal positif tidak diperkenankan dalam Islam.
Dan dalam konteks pendidikan psikis, perasaan minder ini jika dibiarkan tanpa adanya usaha dari diri sendiri ataupun bantuan dari orang lain (guru), maka sifat ini akan berdampak buruk bagi psikologis seseorang.
Maka kita sebagai calon guru hendaknya sedini mungkin mengenali sifat minder ini, dengan harapan bahwa ketika kita mendapati siswa yang punya perasaan minder, kita mampu membantu mereka untuk mengatasi hal tersebut.
Minder sendiri adalah perasaan diri tidak mampu dan menganggap orang lain lebih baik dari dirinya. Orang yang merasa minder
cenderung bersikap egosentris, memposisikan diri sebagai korban, merasa
tidak puas terhadap dirinya, mengasihani diri sendiri dan mudah menyerah.
orang yang mempunyai rasa minder akan merasa lemah, kekurangan, rasa ber
salah yang berlebihan, takut pada orang lain, menarik diri dari lingkung
an /pergaulan, cemas menghadapi sesuatu yang baru, tidak berani menghadapi kenyataan, sukar mengambil keputusan, takut akan kegagalan.[6]
Sering kali kita lebih menghargai orang lain daripada diri sendiri. Sikap ini membuat kita menjadi "minder" dan bahkan mungkin enggan berinteraksi dengan orang lain. Tentu saja sikap "minder" akan merugikan diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Sebab kita tidak bisa membuat diri kita berharga bagi orang lain dan mendedikasikan talenta ataupun keterampilan kita bagi orang-orang di sekitar kita. Untuk mengatasi sikap minder tersebut ada satu syarat, yakni menghargai diri sendiri.
Minder adalah tipikal orang yang bermental lemah. Mental yang lemah akan merasa selalu tidak aman. Selalu gelisah dan kuatir. Karena kerja otak sudah dipenuhi dengan rasa kuatir, takut dan gelisah tanpa sebab atau disebabkan oleh hal-hal kecil, maka kerja otakpun menjadi lemah dan tidak dapat berfungsi untuk memikirkan hal-hal besar yang bermanfaat buat diri sendiri dan orang lain.
Ciri-ciri orang yang merasa minder ialah:
· Suka menyendiri.
· Terlalu berhati-hati ketika berhadapan dengan orang lain sehingga
pergerakannya kelihatan kaku.
· Pergerakannya agak terbatas, seolah-olah sadar bahwa dirinya memang
mempunyai banyak kekurangan.
· Merasa curiga terhadap orang lain
· Tidak percaya bahawa dirinya memiliki kelebihan
· Sering menolak apabila diajak ke tempat-tempat yang ramai
· Beranggapan bahwa orang lainlah yang harus berubah
· Menolak tanggung jawab hidup untuk mengubah diri menjadi lebih baik.[7]
Oleh karena itu, minder harus sebisa mungkin dihindari dan dicari jalan keluarnya dalam rangka mengubah pribadi kita menuju kepribadian yg
self-esteem (baca: self estiim). Suatu tipe kepribadian yang dimiliki orang
yang bisa menggapai mimpi atau suksesnya.
Penyebab perasaan minder menurut Erwin Arianto adalah:
· Saat lahir - setiap orang lahir dengan perasaan rendah diri karena pada
waktu itu ia tergantung pada orang lain yang berada di sekitarnya.
· Sikap orangtua - memberikan pendapat dan evaluasi negatif terhadap
perilaku dan kelemahan anak di bawah enam tahun akan menentukan sikap anak tersebut.
· Kekurangan fisik - seperti kepincangan, bagian wajah yang tidak
proporsional, ketidakmampuan dalam bicara atau penglihatan mengakibatkan reaksi emosional dan berhubungan dengan pengalaman tidak menyenangkan sebelumnya.
· Keterbatasan mental - membawa rasa rendah diri saat dilakukan perbandingan dengan prestasi tinggi dari orang lain.
· Kekurangan secara sosial - keluarga, ras, jenis kelamin, atau status
sosial.
Dan masih menurut Erwin Arianto, untuk mengatasi rasa minder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
· Hadapi rasa takut, jangan dihindari, karena ini tidak akan berakibat seburuk yang kita kira. Melawan rasa takut akan menambah percaya diri kita. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لا يَحِلُ لِمُسْلِمٍ اَنْ يَرُوْعَ مُسْلِمًا (رواه ابو داود)
“ tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain ”
· Hargai diri sendiri sebagai Ciptaan Tuhan, bila kita telah berhasil dalam berbuat sesuatu. Menghargai diri sebagai ciptaan Tuhan membuat kita tetap rendah hati walaupun telah diberi kesempatan menikmati banyak kesuksesan. Menghargai diri sebagai ciptaan Tuhan juga dapat membuat kita lebih tegar dalam menyikapi kelemahan kita.
· Kenali diri. Mengenali diri merupakan bagian tersulit dalam proses menghargai diri. Mengenali diri merupakan sebuah proses yang menuntut kejujuran kita dalam melihat dan mengevaluasi diri.
· Atasi kelemahan kita. Hal yang satu ini sering kali sulit kita lakukan. Kita seringkali tidak mau mengakui kelemahan kita. Kita sering kali mengandalkan penilaian orang lain semata terhadap kelemahan kita sendiri tanpa melibatkan orang lain, atau cara pandang yang salah terhadap kesuksesan dan strategi untuk meraih sukses.
· Lupakan kegagalan masa lalu. Biasanya kegagalan juga dapat membuat kita merasa minder /rendah diri, tapi yang harus kita lakukan dari kegagalan belajarlah dari kesalahan itu, tetapi janganlah mengira sesuatu itu salah sebelum ia akan terjadi lagi.
Dan dalam hal ini Ahmad Tafsir menganjurkan bahwa hendaknya dalam mengatasi anak yang punya rasa minder, orang tua atau guru mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melatih anak itu dengan memberikan tanggung jawab dan memujinya secara wajar.
2. Bantulah mereka agar dapat melakukan sesuatu dengan baik dan bila berhasil berilah penghargaan yang wajar dan tidak pilih kasih dalam memberikan sesuatu, sehingga terwujud keadilan di tengah anak-anak. Sebagaimana hadits Nabi SAW:
سَاوَوْا بَيْنَ اَوْلادِكُمْ فِى الْعَطِيَّةِ ) رواه ابو داود(
“Berlaku adillah terhadap anak-anak kalian dalam suatu pemberian”[8]
3. Ajarkan kepada mereka bahwa nilai manusia sebenarnya ada pada Allah, Allah tidak memandang cacat jasmani tidak mengukur manusia dengan melihat hartanya, tapi Allah melihat sejauhmana ketaqwaan mereka.[9] Maka menjadi tugas kita untuk menyayangi dan memotivasi saudara kita yang kurang dalam segi fisik ataupun saudara kita yang dalam keadaan yatim. Sebagimana sabda Rasulullah SAW:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُُمُ الرَّحْمنُ اِرْحَمُوْا مَنْ فِى اْلاَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ (رواه ابو داود)
“…….kasihilah mahluk di bumi, niscaya mahluk di langit akan mengasihi kalian”
C. Nilai Tarbawi.
Dari pembahasan hadits di atas dapat kita temukan beberapa nilai tarbawi, diantaranya adalah:
· Sebagai seorang muslim kita dianjurkan untuk mempunyai karakter pantang menyerah dan tidak merasa rendah diri (minder).
· Sebagai calon guru kita harus mengetahui bagaimana ciri-ciri siswa yang punya rasa minder, serta bagaimana mengatasi siswa yang demikian.
· Sebagai (calon) guru, kita juga harus memperhatikan kondisi psikis seorang siswa. Apakah ia termasuk anak yang minder atau tidak?. Dan dengan hal tersebut diharapkan guru bisa membantu perkembangan psikis siswa, karena kondisi psikis sedikit banyak akan mempengaruhi proses belajar mereka.
· Minder adalah sikap yang manusiawi, tetapi menjadi tidak manusiawi lagi ketika kita tidak berusaha untuk menghilangkan sikap dan perasaan minder tersebut.
D. Hadits Pendukung.
Untuk hadits pendukung ini akan kami cantumkan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, yang disampaikan oleh Sayyidah Aisyah Radhiallahu’anha. Yang mana dalam hadits ini Sayyidah Aisyah Radhiallahu’anha memuji sikap para wanita dari kalangan Anshar. Meskipun mereka seorang wanita, tapi meraka tidak malu atau minder dalam mencari ilmu. Dan hadits selengkapnya adalah sebagai berikut:
وَقَالَتْ عَائِشَةُ نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهُنَّ فِي الدِّيْنِ [10]
Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Sebaik-baiknya wanita ialah wanita Anshar, rasa malu mereka tidak mencegah mereka untuk mendalami ilmu”.
KESIMPULAN
Setelah kita bisa mengatasi rasa minder, mari kita nikmati rasa percaya diri yang kelak akan mengantarkan kita menjadi manusia yang punya arti di hadapan Allah SWT maupun di hadapan manusia. Dan dengan mengatasi rasa minder maka ini adalah sebuah langkah awal untuk menggapai semua keinginan kita, ubah perasaan rendah diri menjadi perasaan yang membina keyakinan diri.
Kita berhak sukses seperti orang lain. Jangan biarkan perasaan rendah diri menguasai dalam bersaing mencapai keinginan dalam hidup. Pupuklah semangat untuk dapat bersaing di masa depan. Semoga kita semua dapat mengatasi rasa minder untuk dapat terus menggapai mimpi.
Dan untuk kita yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, maka akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi kita jika kita mampu menghantarkan anak didik kita menjadi manusia yang penuh percaya diri dalam menghadapi tantangan yang ada di hadapan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqolani, Imam Ibnu Hajar. 2004. Fathul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari.
Cairo: Darul Hadits.
Erwin, Arianto. 2008. Buang-rasa-minder. blogspot.com
Imam Ahmad bin Hambal. --------. Musnad Imam Ahmad Bin Hambal. Bairut:
Al-Maktab Al-Islamiy.
Imam Bukhary. 1981. Terjemah Shahih Bukhary I. Abdai Rathomy (penj.).
Surabaya: Al-Asyiyah.
Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
[1] Imam Bukhary, Terjemah Shahih Bukhary I, Abdai Rathomy (penj.) , hal. 64
[2] Ibid, hal. 64
[3] Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari, Juz I, hal 178
[4] Ibid, hal 177
[5] Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari, Juz I, hal 178
[6] erwin-arianto.blogspot.com//buang-rasa-minder
[7] erwin-arianto.blogspot.com/2008/03/buang-rasa-minder
[8] Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad Bin Hambal, hal.375
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, hal.183
[10] Imam Bukhari, Shohih Bukhari I, Attasmeem.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar